12.1.12

[tak mau] Berpisah



Berapa banyak perpisahan anda saksikan sepanjang tahun 2011 lalu? Saya banyak. Dari kematian, perceraian, putus pacaran, sampai dengan perpisahan dengan dompet alias kecopetan. Saya coba mengingat kembali satu per satu ‘rasa kehilangan’ itu. Meski perlu waktu beberapa saat untuk mengingatnya, saya mampu menceritakan kembali meski tidak rinci. Satu hal yang sungguh saya merasa kesulitan adalah ketika mengingat kapan saya berjumpa dengan orang dan barang itu, sebelum akhirnya berpisah.  

Paham sudah saya sejak kecil bahwa setiap perjumpaan pasti ada perpisahan. Baru belakangan saya tahu bahwa perpisahan tidak mungkin terjadi tanpa diawali pertemuan. Benar, hanya dibalik saja tapi implikasinya besar sekali. Kenapa? Karena penderitaan hanya fokus pada episode perpisahan saja. Saat bersua dengan siapapun (orang), apapun (benda) tanpa sadar kita  memaknainya sebagai kebahagiaan, atau setidaknya kesenangan. Salam jumpa selalu menyenangkan; nice to meet you, senang bertemu anda, asyik saya punya baju baru. Sejauh saya tahu, tidak ada budaya yang tidak merayakan kelahiran anak, meski variasi perayaan sukacita berbeda antar tempat dan berubah seiring waktu, bisa disimpulkan dalam satu kata: syukuran! Kelahiran inilah perjumpaan.

Tanpa sepenuhnya sadar, pada tiap babak persuaan, sesungguhnya kita sedang mendatangani kontrak satu pasal: bahwa suatu ketika, cepat atau lampat kita akan berpisah, say goodbye meski rasanya bad. Repotnya, pasal itu hanya ada dua ayat: saya yang meninggalkan, atau dia (orang dan barang) yang pergi.

Yang jelas, saat bersua saya tidak bisa tidur karena senang, saat berpisah pun saya tidak bisa tidur karena sedih. Sungguh aksi yang terlambat. Harusnya saya menangis saat berjumpa! Hitung-hitung menangis dibayar dimuka, down payment! Bodohnya (lagi) jika menangis sambil menye-menye bilang: kenapa kita berjumpa jika akhirnya harus berpisah. Yeah, what can I say? Itu harga yang harus dibayar untuk memiliki.

No comments:

Post a Comment