Berapa
banyak perpisahan anda saksikan sepanjang tahun 2011 lalu? Saya banyak. Dari kematian,
perceraian, putus pacaran, sampai dengan perpisahan dengan dompet alias
kecopetan. Saya coba mengingat kembali satu per satu ‘rasa kehilangan’ itu. Meski
perlu waktu beberapa saat untuk mengingatnya, saya mampu menceritakan kembali
meski tidak rinci. Satu hal yang sungguh saya merasa kesulitan adalah ketika
mengingat kapan saya berjumpa dengan orang dan barang itu, sebelum akhirnya
berpisah.
Paham
sudah saya sejak kecil bahwa setiap perjumpaan pasti ada perpisahan. Baru belakangan
saya tahu bahwa perpisahan tidak mungkin terjadi tanpa diawali pertemuan. Benar,
hanya dibalik saja tapi implikasinya besar sekali. Kenapa? Karena penderitaan
hanya fokus pada episode perpisahan saja. Saat bersua dengan siapapun (orang),
apapun (benda) tanpa sadar kita
memaknainya sebagai kebahagiaan, atau setidaknya kesenangan. Salam jumpa
selalu menyenangkan; nice to meet you,
senang bertemu anda, asyik saya punya baju baru. Sejauh saya tahu, tidak ada
budaya yang tidak merayakan kelahiran anak, meski variasi perayaan sukacita berbeda
antar tempat dan berubah seiring waktu, bisa disimpulkan dalam satu kata:
syukuran! Kelahiran inilah perjumpaan.
Tanpa
sepenuhnya sadar, pada tiap babak persuaan, sesungguhnya kita sedang mendatangani
kontrak satu pasal: bahwa suatu ketika, cepat atau lampat kita akan berpisah, say goodbye meski rasanya bad. Repotnya, pasal itu hanya ada dua ayat:
saya yang meninggalkan, atau dia (orang dan barang) yang pergi.
Yang
jelas, saat bersua saya tidak bisa tidur karena senang, saat berpisah pun saya tidak
bisa tidur karena sedih. Sungguh aksi yang terlambat. Harusnya saya menangis
saat berjumpa! Hitung-hitung menangis dibayar dimuka, down payment! Bodohnya (lagi) jika menangis sambil menye-menye bilang: kenapa kita berjumpa jika akhirnya harus berpisah. Yeah, what can
I say? Itu harga yang harus dibayar untuk memiliki.
No comments:
Post a Comment